Sektor riil terpukul akibat melambungnya suku bunga, termasuk bisnis properti. Untuk mengetahui perkembangan di lapangan tentang dampak BI Rate 9,50 %, Bisnis berbincang dengan Ali Hanafia Lijaya, praktisi bisnis properti yang merupakan member broker Century 21 terbaik selama 9 tahun berturut-turut hingga 2007. Berikut petikannya.
Bagaimana dampak tingginya suku bunga terhadap properti ?
Seharusnya, kebijakannya (BI Rate tinggi) dikaji oleh pemerintah. Selain itu, harus dipertimbangkan penjaminan untuk seluruh dana nasabah. Jangan maksimal Rp 2 miliar. Suku bunga harus diturunkan.
Kadang-kadang pandangan pemerintah seperti itu. Kita sudah belajar dari pengalaman krisis 1998. Pandangannya begini, tetapi rupiah tetap saja terjun bebas. Kadang-kadang kita harus pakai teori terbalik dan belajar dari negara lain.
Singapura justru pandai mencari peluang di tengah kondisi kita yang tidak stabil. Mereka pelajari celah dari kebijakan yang dibuat Indonesia. Begitu penjaminan kita naik hingga 2 milliar, mereka memutuskan menjamin seluruh dana nasabah bank. Dana pun perlahan beralih ke sana.
Kepercayaan pasar harus dibangkitkan, jangan ada peraturan diskriminasi yang bisa membuat kacau. Penjaminan Rp 2 miliar itu diskriminatif. Pemerintah lupa, kalau yang besar terganggu, yang kecil juga kena dampaknya. Terjadi PHK (pemutusan hubungan kerja) akibat omset turun, lama-lama usahanya tutup.
Bagaimana soal KPR ?
Kami dapat fax dari bank yang menyebutkan uang muka untuk KPR (kredit pemilikan rumah) dinaikkan. Jadi, bank lebih fokus membiayai landed house dan ruko, yang resikonya tidak terlalu besar. kalau high-rise, baru terjual 30 % pun kan harus bangun semua. Bank pun meninggikan uang mukanya. Itu wajar saja.
Ini buah simalakama yang tidak perlu terjadi kalau kebijakan dibuat dengan belajar dari pengalaman. Pasar jangan dikeringkan uangnya. Pasar tidak bisa dikendalikan. Biarkan pasar bermain, pemerintah mengontrol, beri kepercayaan dan sektor riil harus hidup.
Ingat, properti salah satu sektor penggerak roda ekonomi sesaat setelah krisis melalui lelang properti BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional).
Properti juga pantas dilindungi karena industri turunan yang menopangnya begitu banyak. Jangan memberi instruksi kepada bank untuk mengerem KPR, itu tindakan keliru.
Kondisi sekarang beda dengan 10 tahun lalu dimana perbankan terlalu mudah mengucurkan kredit ke developer. Dulu cukup tunjukkan surat izin penunjukan penggunaan tanah (SIPPT), bank berikan kredit 300. Yang 100 dipakai untuk membebaskan tanah, tetapi 200 lagi dikantongi developernya. Ada lagi personal guarantee yang mendorong kredit keluar tidak hati-hati.
Sekarang developer tidak punya tanah tidak bisa dapat kredit bank. Developer harus punya sertifikat, plan, site plan dulu, baru minta kredit konstruksi. Pencairannya pun bertahap sesuai dengan progres pembangunan.
Jadi, sekali lagi, jangan rem KPR. Orang mau beli properti dengan KPR, 90 % untuk dipakai, bukan untuk investasi rumah kedua atau ketiga. Ada, tetapi sedikit yang begitu (untuk investasi).
Properti mulai terpengaruh, apa upaya BI mengeringkan pasar ?
Ya. Penurunan yang dikontribusi oleh tingginya suku bunga itu dibandingkan dengan bulan yang sama tahun lalu mencapai 30 %. Ironis, mestinya pada saat krisis, kita harus bergerak lebih kuat.
Bunga KPR ideal ?
Dalam kondisi sekarang, idealnya 13 - 15 % per tahun. Pemerintah harus bantu properti bergerak. Ini murni domestik, local content dan tidak banyak memakai barang impor. Penggerak roda ekonomi. (Pewawancara : M.Syahran W.Lubis)